Ayah, Berbohonglah Untukku

Posted by DIAZ Monday, November 4, 2013 0 comments
Suatu ketika dalam pelatihan, sebuah pertanyaan sederhana saya ajukan kepada peserta. Mereka semuanya mahasiswa.
“Jika kita diminta untuk memilih. Mana yang lebih baik, pura-pura atau yang sebenarnya, yang sejujurnya?”
“Yang sebenarnya… yang sejujurnya…” jawab mereka serempak.
“Apa alasannya?” tanya saya kembali dan menunjuk salah seorang peserta perempuan.
“Karena pura-pura itu dekat dengan kebohongan. Bahkan bisa jadi sama. Munafik,” jawabnya lugas.
Usai mendengar jawaban terakhir tadi, saya mencoba melayangkan pandangan ke seluruh peserta, terutama yang laki-laki. Saya menatap peserta laki-laki dengan tajam seraya berkata dengan nada yang berat.
“Jika demikian wahai saudari kami yang perempuan… Apabila ada seorang di antara kami para laki-laki datang kepadamu menyatakan cintanya sembari mengajak pacaran… Maka itulah laki-laki yang akan membuat Ayahmu, atau wali yang bertanggungjawab terhadapmu, terpaksa harus berpura-pura di depan penghulu, para saksi, dan undangan. Dia terpaksa berpura-pura mengulurkan tangannya ketika ijab qabul, seakan anak perempuannya memang tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun selain mahramnya. Tak pernah terjamah hatinya oleh lelaki manapun.”
“Bukankah demikian selama ini hikmahnya?” lanjut saya. “Wali nikah itu, adalah wujud kehormatan dan mengagungkan perempuan yang hanya boleh ‘disentuh’(hati dan fisiknya) setelah pernikahan. Selain itu tidak ada. Tidak ada!” tegas saya.
“Apakah tega kita menjebak Ayah yang kita hormati selama ini dalam kepura-puraan, kebohongan, di hari yang seharusnya kita harapkan keberkahan?”
Saya berhenti pada pertanyaan itu. Saya tertunduk menghela nafas. Kemudian menyudahi dengan closing statement.
“Jika hal ini kita abaikan. Kita hiraukan. Maka tidakkah tega kita melihat perempuan-perempuan yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, menjadi suri tauladan bagi generasi selanjutnya, terpaksa mengawali hari bersejarahnya dengan berkata, ‘Ayah, berbohonglah untukku pada hari pernikahan ini…’
Dan kebohongan itu akan disaksikan oleh puluhan, bahkan ratusan undangan.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/11/03/41586/ayah-berbohonglah-untukku

Baca Selengkapnya ....

Seorang Wanita Menasihati Sang Alim

Posted by DIAZ Sunday, November 3, 2013 0 comments
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,

‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim, abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang istri tersebut, sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.

Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia, “Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi, manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di depan pintu dan tidak mau beranjak.

Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?’ Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’ Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.

Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).

Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”

Ibrah

Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ

“Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).

Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).

Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya.

Baca Selengkapnya ....
Tutorial SEO dan Blog support Cikaha Fashion Store - Original design by Weeldan | Copyright of Blogging Yuuk!!.

Followers